Sabtu, 07 April 2012

"MENGUAK MAKNA DI BALIK REALITAS" DEMOKRASI INDONESIA DI AMBANG KEHANCURAN

Gerakan mahasiswa Indonesia yang begitu monumental pada tahun 1998 membuat seluruh rakyat Indonesia bersorak gembira menyambutnya.
Rakyat yang selama beberapa dekade terkunkung otoritarianisme orde baru, begitu bangga atas keberhasilan anak muda (mahasiswa) dalam menumbangkan rezim Soeharto yang telah menduduki kursi kekuasaan di bangsa ini selama kurang lebih 32 tahun.
Kini ketika dengan susah payah mahasiswa Indonesia berjuang demi tegaknya demokrasi di negeri ini, harus kembali menelan pil pahit jalannya sistem pemerintahan yang justru telah mengebiri hak-hak rakyat dan sepertinya otoritarianisme model baru yang kini eksis.
Kalo dulu di zaman rezim orde baru, militer yang memegang kendali penuh atas nasib rakyat,  di jaman sekarang kini kekuatan sipil yang sepertinya mulai menunjukkan sikap totaliternya. Terbukti dengan banyaknya amanah reformasi yang mulai terabaikan, meskipun beberapa institusi pemerintah katanya berbenah dengan "embel-embel " reformasi birokrasi. Namun, Patologi Birokrasi masih saja terlihat lenggak-lenggok atau dalam term orang Makassar "Pabiri'birisi'", karena jika dilihat realitas objektif memang masih sama.
Nah, berangkat dari hal tersebut di atas, maka saya mencoba mengajak kita semua untuk memahami dan mencoba menguak sisi terdalam dari realitas sosial kita dewasa ini, dan bagaimana kini nasib demokrasi yang selalu mahasiswa perjuangkan didalam setiap momentum pergerakan perlawanannya.

Demokrasi pada prinsipnya memiliki 3 idiom dasar sebagai hal yang fundamental dan inheren dalam dirinya.

1. Egaliter    : Persamaan
2. Fraternite : Persaudaraan
3. Liberte     : Kebebasan

Tiga idiom dasar inilah sebuah pemerintahan negara di Indonesia kita ini terabaikan oleh para pengambil kebijakan tertinggi di negara kita.
Persamaan hak dalam konteks apapun. Baik itu hak politik, hak di hadapan hukum, hak hidup, hak bersekolah, hak untuk sehat. Namun, realitasnya pemerintah banyak mengabaikan hak-hak rakyat terlebih lagi mereka yang tidak memiliki akses di pemerintahan.
Persaudaraan tidak lagi di pandang prinsipil dalam kehidupan sosial, karena kepentingan pragmatis jauh lebih di utamakan daripada memikirkan nasib rakyat.
Kebebasan sepertinya mesti kita teriakkan kembali dalam rangka menjaga siklus kekuasaan yang monopolistik oleh penguasa, banyak gerakan perlawanan rakyat, mahasiswa itu kemudian di bungkam oleh kekuatan yang seharusnya melindungi dan melayani masyarakat. Namun, justru menekan rakyat untuk kemudian kembali mengalami alienasi pada dirinya sendiri.
Inilah realitas kebangsaan kita di Indonesia beberapa dekade belakangan ini...


Tidak ada komentar:

Posting Komentar